IKLAN TAJAAN

Jun 03, 2011

DAKWAH PERLU DIUTAMAKAN...BARU SIASAH..JANGAN SIASAH SAMA DGN DAKWAH..ATAU MALANGLAH SIASAH DIUTAMAKAN DAKWAH TERCICIR ATAU SAMPINGAN SAJA.

DAKWAH DALAM ISLAM Oleh Ustaz Syed Hasan Alatas


Allah berfirman yang bermaksud:
"Siapakah yang terlebih baik perkataannya daripada orang yang Menyeru
kepada Allah dan beramal soleh seraya berkata:"Sesungguhnya saya salah
seorang Muslim." (Fussshilat ayat 33)
Perkataan ataupun ucapan menyeru manusia ke jalan Allah adalah suatu amalan yang terbaik dan mulia. Tugas suci ini telah dilaksanakan oleh Rasul-Rasul Allah semenjak mula manusia diciptakan, yang telah ditunaikan oleh ramai utusan Allah S.W.T. antara lain Adam a.s., Noah a.s, Hud a.s, Ibrahim a.s (Abraham), Ismail a.s, .Ishak a.s.(Isaac), Ya'qub a.s.(Yacob), Yusuf a.s.(Joseph), Musa a.s(Moses), Daud a.s.(David), Sulaiman a.s.(Solomon), Isa a.s. (Jesus) dan hingga ke akhir Rasulullah Muhammad s.a.w. Semua mereka menyeru ke jalan Allah, jalan yang benar dan melarang manusia dari perbuatan yang keji dan jahat.
Semua utusan Allah itu telah melaksanakan tugas mereka dengan baik dengan tidak mengharapkan apa-apa upah, malah mereka telah mengorbankan harta benda malah ramai pula diantara mereka yang dikejaar-kejar dan ingin dibunuh, seperti apa yang telah dialami oleh Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. dan juga apa yang telah dialami oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Rasulullah s.a.w.mengajak manusia ke jalan Allah dengan lemah lembut dan kasih sayang sesuai dengan Firman Allah yang maksudnya:
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."(Annahl:125) Usaha menyeru manusia ke jalan Allah bukanlah pekerjaan yang mudah, ia memerlukan pengorbanan segalanya, baik tenaga, harta benda jika diperlukan nyawa sekalipun. Usaha yang mulia ini akan berhadapan dengan banyak halangan dan rintangan yang datangnya dari berbagai penjuru. Jika kita tabah menghadapinya Insya-Allah usaha Dakwah kita akan berjaya.. Sejak Adam a.s. hingga hari kiamat syaitan bekerja keras untuk menyesatkan Adam a.s. dan anak cucunya. Bila syaitan menjelma menjadi manusia, maka syaitan manusia ini akan berusaha keras untuk menghalang segala pekerjaan yang baik, terutama sekali Dakwah ke jalan Allah, menyeru kepada yang baik dan melarang daripada yang mungkar. Mereka akan bekerjasama menghalang Dakwah dengan berbagai cara dan daripada mereka ini kita tidak dapat mengharapkan apa-apa pertolongan. Kita perlu berusaha sendiri. Insya Allah dengan usaha yang tidak mengenal putus asa dan dengan pertolongan Allah Nabi s.a.w.telah mencapai kejayaan.
Kita teringat betapa susahnya Nabi berdakwah dalam menyampaikan seruan Allah. Nabi s.a.w. dihina, difitnah, dituduh orang gila, dikejar-kejar malah mau dibunuh. Baginda pergi ke Taif untuk menyampaikan Dakwahnya. Di sana beliau telah disambut dengan cercaan dan makian. Malah mereka menyuruh budak kecil melempari Nabi s.a.w. dengan batu kayu dan sebagainya, sehingga tubuhnya penuh dengan luka dan kakinya berdarah. Dalam keadaan seperti itu Rasulallah s.a.w. hanya berdo'a:
"Ya Allah tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahuinya."
Kaum jahiliyah Quraisy terus sahaja berusaha untuk menghalang perjuangan Nabi s.a.w. Tidak cukup dengan cacian dan makian, melemparkan kotoran ke tubuh Baginda, meletakkan duri di depan rumah Baginda, malah Rasulallah s.a.w. dan kaumnya bani Hasyim dan bani Muthalib dipulaukan hingga hampir tiga tahun lamanya.
Mereka dibiarkan di sebuah lembah yang kering kontang, dan tidak dibenarkan siapapun untuk memberikan apa-apa pertolongan.Tidak cukup dengan berbagai penganiaayaan dan kezaliman malah mereka telah membuat pakatan untuk membunuh Nabi s.a.w. Akhirnya Rasulallah s.a.w. diperintahkan Hijrah ke Yathrib (Madinah).
Di Madinah Dakwah Nabi s.a.w.mendapat sambutan diluar dugaan. Di Madinah Nabi s.a.w. disamping mendirikan masjid Rasulullah s.a.w., telah mempersaudarakan kaum Muslimin yang datang dari Makkah (Muhajirin) dengan kaum Muslimin di Madinah (Ansor). Disamping itu Nabi telah berjaya menyatupadukan semua pendudukan Madinah yang terdiri daripada berbilang kaum dan agama, dengan membuat perjajian yang terkenal dengan Piagam Madinah.
Alhamdulillah berkat usaha yang gigih dan tak pernah mengenal putus asa yang berlandaskan niat yang ikhlas menyeru manusia kejalan Allah, jalan yang menyelamatkan manusia daripada kesesatan dan kehancuran, akhirnya Nabi sa.w, dengan pertolongan Allah s.w.t. dan bantuan daripada semua sahabat yang setia dalam perjuangan Rasulullah s.a.w. telah memperoleh kejayaan. Kemudian usaha yang mulia dan suci ini telah dilanjutkan oleh para alim-ulama dan cerdik pandai Islam lainnya. Dengan bantuan daripada semua pihak terutama daripada para hartawan dan dermawan, akhirnya usaha yang mulia ini telah mendapat pengikut sehingga seperlima daripada penduduk dunia.
Tanggung jawab menyeru ke jalan Allah adalah menjadi tanggung jawab semua pihak, mereka yang tak boleh berdakwah dengan lisan, boleh berdakwah dengan harta benda. Ataupun sekurangg-kurangnya berdakwah dengan contoh teladan yang baik, semoga dengan demikian Insya-Allah usaha yang mulia ini diberkati dan akan memperoleh kejayaan.


Tanggung Jawab Umat Dalam Dakwah Islam

Jika seorang Muslim dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu antara permasalahan dirinya sendiri dengan permasalahan umat, maka sudah seharusnya ia mendahulukan permasalahan yang dihadapi oleh umat. Sikap mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya pribadi merupakan sikap mulia dan termasuk ke dalam bentuk pemikiran yang bernilai tinggi. Sedemikian besar perhatian Islam terhadap permasalahan umat, Islam sampai menggolongkan orang yang tidak peduli dengan permasalahan umat sebagai orang yang tidak berguna, dan tidak tergolong ke dalam kelompok umat Muhammad. Rasulullah Saw:
Siapa saja yang bangun pagi, sementara ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka ia tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidaklah termasuk golongan mereka. [HR. ath-Thabrani dari Abu Dzar al-Ghifari].
Islam tidak pernah membiarkan salah seorang dari para penganutnya bebas dari tanggung jawab. Sebaliknya, Islam memberikan kepada mereka beban tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia, jika ia telah mencapai status akil balig. Rasulullah Saw bersabda:
Ketahuilah, bahwa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas kepemim-pinannya. Seorang pria (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang wanita (istri) adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pelayan/hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas kepe-mimpinannya. Ketahuilah, bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kepemim-pinannya. [HR. al-Bukhari Muslim].
Tanggung jawab semacam ini, bisa semakin luas bisa pula semakin sempit, sesuai dengan kondisi yang dibebankan kepadanya. Jika orang yang menerima hukum taklif (beban hukum) dapat melakukannya sendiri, misalnya beban untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya, atau memberi makan kepada tetangganya yang kelaparan, atau menolong orang-orang yang menderita; maka beban tersebut menjadi tanggung jawab individu. Sebab, lingkup aktivitasnya masih dalam jangkauan kemampuan seseorang untuk berbuat.
Tanggung Jawab Individu, Umat, Dan Negara
Namun demikian, jika seorang individu tidak dapat menjalankannya, kecuali bersama-sama dengan jamaah kaum Muslim, atau hukum Islam telah membebankan suatu perkara kepada jamaah —misalnya saja mengemban dakwah Islam untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dalam rangka menerapkan syariat Islam, atau melakukan koreksi (muhâsabah) terhadap penguasa, atau melaksanakan jihad fi sabilillah— dalam keadaan seperti ini, cakupan tanggung jawabnya meluas hingga harus dipikul oleh jamaah kaum Muslim, atau oleh institusi negara (Khilafah Islamiyah).
Sebagian besar dari beban hukum yang telah diberikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya kepada kaum Muslim tidaklah merupakan tanggung jawab seorang individu Muslim. Bahkan, sebagian besar sistem hukum Islam —dalam hal pelaksanaan praktisnya— dibebankan kepada negara sebagai pihak yang mengatur, memelihara, dan menjaga umat dalam menjalankan sistem hukum Islam. Siapa yang mampu mengatur pelaksanaan sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam, sistem militer Islam, sistem pendidikan Islam, sistem politik luar negeri Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem peradilan Islam, dan sejenisnya? Tentu bukan individu Muslim, melainkan negara (penguasa dan seluruh staf pemerintahannya).
Oleh karena itu, tanggung jawab dalam menerapkan sistem hukum Islam menjadi tanggung jawab jamaah (yaitu seluruh kaum Muslim dan penguasa), bukan tanggung jawab individu. Demikian pula dengan kewajiban kaum Muslim untuk mengemban dakwah Islam. Kewajiban ini bukan saja harus dijalankan oleh seorang individu Muslim, melainkan oleh seluruh kaum Muslim, termasuk negara (penguasa). Kewajiban ini sama-sama menimpa seorang Muslim yang faqih maupun yang awam, perempuan maupun lelaki, individu maupun masyarakat dan negara.
Sasaran beban dakwah yang bukan hanya mencakup tanggung jawab individu tetapi juga menjadi ranaggung jawab jamaah dan bahkan negara (penguasa), sangat tampak dalam nash-nash berikut ini:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk golongan kaum Muslim”?(Qs. Fushshilat [41]: 33).
Ayat di atas ditujukan kepada individu Muslim, siapa pun orangnya, untuk menjalankan aktivitas dakwah Islam.
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang mengajak pada kebajikan (Islam), memerintahkan yang makruf, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali-Imraan [3]: 104).
Ayat ini ditujukan kepada sekelompok kaum Muslim —sebagai sebuah jamaah— untuk menjalankan aktivitas dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar.
Dalam suatu hadis disebutkan demikian:
Rasulullah Saw tidak pernah memerangi suatu kaum melainkan sesudah terlebih dulu menyampaikan dakwah Islam kepada mereka. [HR. Ahmad, al-Hakim, dan ath-Thabrani].
Hadis ini menjelaskan kedudukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara (penguasa) yang menjalankan aktivitas dakwah terlebih dulu (yaitu mengajak orang-orang kafir agar memeluk Islam atau bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam), sebelum —jika mereka menolak—melakukan jihad fi sabilillah untuk membuka dan mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam.
Walhasil, tanggung jawab umat Islam dalam mengemban dakwah dapat disimpulkan pada dua kondisi: (1) Jika kaum Muslim telah menjalankan sistem hukum Islam dan Daulah Islam telah berdiri berdasarkan akidah Islam, maka mereka wajib menyampaikan dakwah Islam kepada orang-orang kafir yang ada di berbagai negara. (2) Jika kaum Muslim belum dapat menjalankan sistem hukum Islam secara total, dan Daulah Islam belum tegak, maka kewajiban yang utama atas kaum Muslim adalah mengemban dakwah Islam dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam yang telah lenyap, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islam yang berdiri berasaskan akidah Islam dan yang akan menerapkan sistem hukum Islam secara total.
Bahaya yang Mengancam Eksistensi Kaum Muslim
Saat ini, kaum Muslim berada dalam lingkungan masyarakat yang menganut berbagai pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran Islam. Bahaya-bahaya yang mengancam tubuh kaum Muslim berasal dari luar (eksternal) maupun berasal dari dalam (internal) kaum Muslim. Bahaya-bahaya itu antara lain:
A. Bahaya eksternal, mencakup: (1) Berkembangnya pemikiran-pemikiran yang berasal dari peradaban Barat yang menekankan doktrin pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). (2) Pemikiran Komunisme atau Sosialisme yang menolak adanya unsur agama dan mengatakan bahwa agama adalah candu yang membahayakan masyarakat. (3) Pemikiran-pemikiran lain yang membahayakan aqidah Islam dan syariatnya yang berasal dari Barat seperti: nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, dan yang sejenisnya.
B. Bahaya internal, mencakup muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan penghancur seperti Ahmadiyah, Baha’iyah, aliran kebatinan, inkarus sunnah, freemasonry, ideologi Dunia Ketiga (yang dikembangkan oleh Khadafi di Libia), dan sejenisnya.
Semua itu muncul sebagai akibat dari serangan pemikiran (ghazw al-fikr) yang dilontarkan oleh Dunia Barat yang kafir kepada kaum Muslim. Di samping itu, serangan-serangan dalam wujud manuver politik, ekonomi, hingga militer terus melanda negeri-negeri kaum Muslim hingga saat ini; tanpa bisa dibendung lagi oleh kaum Muslim. Selain itu, identitas kaum Muslim yang memiliki standar pemikiran yang mengacu pada akidahnya yang jernih dan syariatnya yang agung lambat laun sirna; peranannya digantikan oleh akal, faktor kemaslahatan, adat istiadat, tradisi, bahkan hawa nafsu semata. Mereka tidak lagi menjadikan halal-haram sebagai tolok ukurnya.
Jika hal ini dibiarkan, sementara kaum Muslim melepas tanggung jawabnya dan tidak peduli dengan kondisi yang melanda mereka, maka kehancuran umat ini hanya soal waktu.
Tanggung Jawab Kaum Muslim Saat Ini
Dalam rangka merealisasikan berdirinya Negara Khilafah —yang akan menjamin dilanjutkannya kembali kehidupan Islam, menerapkan seluruh sistem hukum Islam secara total, serta mengemban dakwah Islam ke luar negeri dengan jalan dakwah dan jihad— maka harus ada pertarungan pemikiran (ash-shira’ al-fikrî) untuk menghancurkan dan melenyapkan seluruh pemikiran kufur yang betolak belakang dengan akidah dan syariat Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim dapat menemukan kembali pemikiran-pemikiran Islam yang mampu mengatasi seluruh problematika kehidupan manusia, sekaligus mencampakkan seluruh bentuk pemikiran kufur yang bertentangan dengan Islam dan nyata-nyata telah menjadi standar sebagian besar kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertarungan pemikiran dilakukan dengan cara mengungkap kerusakan, kekeliruan, kelemahan, dan ketidakberdayaan pemikiran-pemikiran kufur tersebut, yang memang tidak layak dijadikan tolok ukur bagi kaum Muslim dalam menyelesaikan problematika kehidupannya. Dalam waktu yang sama, harus dijelaskan keagungan pemikiran Islam, terutama sebagai pemikiran praktis yang layak dijadikan satu-satunya tolok ukur bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, hal ini membutuhkan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) yang sungguh-sungguh dari segenap kaum Muslim. Dengan itu, tujuan utamanya, yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam, dapat tercapai. Perjuangan politik tersebut dilakukan dengan jalan:
1. Membeberkan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara imperialis, termasuk tindakan-tindakan kriminal dan persekongkolan jahat mereka terhadap kaum Muslim.
2. Menjelaskan berbagai bahaya kecurangan politik yang diterapkan secara paksa atas negeri-negeri kaum Muslim.
3. Mengungkap hakikat oknum-oknum penguasa yang menjadi antek-antek musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
4. Menjelaskan hakikat tokoh-tokoh politik yang menentang Islam dan bersikap munafik, baik yang berasal dari kalangan partai-partai politik, pejabat pemerintah, ataupun intelektual Muslim yang selalu menyesatkan kaum Muslim, memutarbalikkan fakta, dan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan.
5. Menjatuhkan martabat kepemimpinan beserta pribadi para tokoh yang aktivitasnya hanya menyesatkan umat Islam.
Dalam menjalankan aktivitas pergulatan pemikiran dan perjuangan politik ini (ash-shirâ’ al-fikrî wa al-kifâh as-siyâsî) ini, kaum Muslim tidak diperkenankan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam dan seluruh kaki tangan mereka. Allah SWT telah melarang Rasulullah Saw bersikap lunak dan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam. Allah SWT berfirman:
Janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula) kepadamu. (Qs. al-Qalam [68]: 8-9).
Perjuangan politik harus terus dilakukan sampai para penguasa bersedia tunduk kepada Islam, sekaligus rela meninggalkan kezaliman, pengkhianatan, dan persekongkolan dengan musuh-musuh Islam. Aktivitas perjuangan politik ini harus terus dilakukan meskipun menghadapi berbagai tantangan, kesulitan, dan bahaya yang bisa mengorbankan harta maupun jiwa.
Tanpa kesadaran politik, pertarungan pemikiran, dan perjuangan politik, maka para pengemban dakwah Islam tidak akan menyadari problematika umat yang sebenarnya. Artinya, mereka tidak akan menjumpai jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Mereka juga pasti tidak akan mampu mengatur dan memelihara urusan-urusan umat, jika —pada suatu saat— roda pemerintahan dialihkan dan diberikan kepada mereka.
Dengan demikian, selama seorang pengemban dakwah tidak berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Islamnya yang jernih serta berusaha memiliki kesadaran politik yang tinggi dengan manjalankan aktivitas pergulatan pemikiran dan perjuangan politik, maka tidak mungkin ia menjadi pemimpin umat. Ia hanya mampu menjadi seorang pengajar, khatib, syaikh, dan sejenisnya. [Majalah al-Wa'ie, No. 6]

TUJUAN DAKWAH DALAM ISLAM

I. PENDAHULUAN
Islam, merupakan satu-satunya ajaran agama yang hakekatnya adalah untuk keselamatan umat manusia. Hal ini dibuktikan dalam konteks ajarannya yang mengandung nilai-nilai rahmatan lil alamin, artinya ajarannya bersifat universal, tidak hanya dikhususkan kepada umat Islam, sebaliknya dapat meletakkan dasar-dasar dan pola hidup yang tepat untuk dilaksanakan oleh segenap umat manusia.
Dalam rangka pengaktualisasian konsep-konsep ajarannya itulah Islam mengembangkan strategi dakwah, hal ini secara historis telah diteladankan oleh Rasulullah ketika ajaran Islam pertama kali disyi’arkan kepada kaum quraiys saat itu. Dakwah pertama kali dilakukan oleh Rasulullah dalam lingkungan keluarga secara bertahap telah membentuk pola pikir, pola hidup dan keyakinan mereka tentang keesaan Allah swt., yang kemudian berlanjut pada lingkungan sahabat dan masyarakat umum. Demikianlah tahapan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membesarkan ajaran Islam di tengah-tengah kaum yang bobrok akhlaknya serta dangkal aqidahnya. Namun dilandasi oleh semangat juang untuk menegakkan kebenaran dan keesaan sang pencipta, seluruhnya itu dapat berubah hanya dalam jangka waktu + 23 tahun.
Berangkat dari kenyataan yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam dakwahnya tersebut, jika ditelaah secerna mungkin, maka dakwah merupakan lapangan yang sangat penting dan utama sekali, baik dilihat dari pandangan agama maupun dari segi pertumbuhan bangsa yang sedang membangun saat ini dan masa yang akan datang,.makin banyak masyarakat membicarakan pembangunan makin terasa sekali bagaimana ketergantungannya pada manusia, faktor insan yang amat menentukan apakah akan berhasil ataukah tidak.
Dalam hal inilah diperlukan ajaran agama Islam yang dapat memberingan sumbangan berharga, sebagaimana konsep ajarannya yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sosialisasi ajaran agama Islam ditengah-tengah masyarakat pembangun itu menggunakan strategi dakwah baik yang dilakukan secara lisan, maupun fi’il, dan dapat dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian, maka tujuan dakwah secara umum dapat dikatakan membangun masyarakat yang maslahat dunia dan akhirat melalui pengetahuan mendalam terhadap pokok-pokok syar’iyahnya.

II. PEMBAHASAN
Proses penyelenggaraan dakwah dilaksanakan dalam rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan dapat diperoleh dengan jalan melakukan aktifitas dan realisasi dakwah itu disebut tujuan dakwah. Tujuan dakwah merupakan salah satu tujuan umum dakwah, sehingga bisa dikatakan apabila unsur ini tidak ada maka penyelenggaraan dakwah tidak akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan atau semua usaha akan sia-sia.
Mengenai konteks tujuan dakwah ini, para pakar memberikan definisi yang berbeda-beda. Namun perbedaan pendapat tersebut hanyalah dalam tataran redaksi bahasa. Substansinya sesungguhnya sama yaitu demi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan kehidupan di akhirat.
Muhammad Natsir mengemukakan bahwa tujuan dakwah adalah:
  1. Memanggil manusia kepada syari’at untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perorangan ataupun rumah tangga, berjamaah, bermasyarakat, bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan bernegara.
  2. Memanggil manusia kepada fungsi hidup sebagai hamba Allah Swt di muka bumi, menjadi pelopor, pengawas, pemakmur, pembesar kedamaian bagi umat manusia.
  3. Memanggil manusia kepada tujuan hidup yang hakiki yaitu menyembah Allah Swt. sebagai satu-satunya zat Pencipta.
Di lain pihak Dr. Mawardi Bachtiar berpendapat bahwa tujuan dakwah adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur serta mendapat ridha Allah Swt.
Sedangkan Prof. H.M. Arifin menjelaskan tujuan dakwah untuk menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang disampaikan oleh pelaksana dakwah atau penerang agama.
Adapun menurut Prof. Toha Yahya Umar, M.A. menjelaskan bahwa tujuan dakwah adalah untuk menobatkan benih hidayah dalam meluruskan i’tiqad, memperbanyak amal secara terus-menerus, membersihkan jiwa dan menolak syubhat agama.
Selanjutnya M. Syafaat Habib mengemukakan tujuan dakwah adalah berupaya untuk melahirkan dan membentuk pribadi atau masyarakat yang berakhlak atau bermoral Islam. Lebih jauh lagi Syeck Ali Mahfudz berpendapat bahwa tujuan dakwah adalah mendorong manusia untuk menerapkan perintah agama dan meninggalkan larangan-Nya supaya manusia mampu mewujudkan kehidupan bahagia di dunia dan di akherat.
Sementara Didin Hafiduddin menegaskan tujuan dakwah adalah untuk mengubah masyarakat sebagai sasaran dakwah ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera lahiriah maupun bathiniah.
Dalam hal tujuan dakwah Asmuni Syukii membagi tujuan dakwah ke dalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan Umum (mayor objektive)
Tujuan umum dakwah adalah mengajak ummat manusia meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik kepada jalan yang benar dan diredhai Allah Swt. agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, maupun sosial kemasyarakatan agar mendapat kehidupan di dunia dan di akherat.
b. Tujuan Khusus (minor objektive)
Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan sebagai perincian dari tujuan umum dakwah. Tujuan ini di maksudkan agar dalam pelaksanaan aktifitas dakwah dapat di ketahui arahnya secara jelas, maupun jenis kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah dan media apa yang dipergunakan agar tidak terjadi miss komunikasi antara pelaksana dakwah dengan audience (penerima dakwah) yang hanya di sebabkan karena masih umumnya tujuan yang hendak dicapai.
Olehnya itu tujuan umum masih perlu diterjemahkan atau di klasifikasi lagi menjadi tujuan khusus, sehingga lebih memperjelas maksud kandungan tujuan khusus tersebut adalah :
a. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah Swt. Artinya mereka diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah Swt, dan selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarangnya seperti yang terkandung dalam al-Qur’an surat al- Maidah (5) ayat 2 ;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id dan jangan (pula) mengganggu orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka lekaslah berburu. Janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
b. Membina mental agama Islam bagi mereka yang masih mengkwatirkan tentang keislaman dan keimanannya (orang mukallaf), seperi yang terdapat dalam Q.S. (2) : ayat 286 ;
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Terjemahnya :
Allah tidak membebani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang di usahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya, (mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dan kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.
c. Mengajar dan mendidik anak agar tidak menyimpan dari fitrahnya. Tujuan ini didasarkan pada al-Qur’an surat ar-Ruum (30) ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Terjemahnya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ;(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Meskipun definisi tentang tujuan dakwah bervariasi, namun pada hakekatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifistasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual serta kultural dalam rangka kehidupan manusia, dengan menggunakan cara tertentu.
Dengan demikian, dari semua tujuan - tujuan tersebut di atas, merupakan penunjang daripada tujuan akhir aktifitas dakwah. Tujuan akhir ini aktifitas dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia lahir dan bathin di dunia dan di akherat nanti

KEPUSTAKAAN
Arifin, Psikologi Dakwah; Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara, 1994
Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983
Adisasono (et al), Solusi Islam atas Problematika Umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Bactiar, Mawardi, Metodologi Penelitian Dakwah, Jakarta: Wijaya, 1982
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta: Yayasan Pnyelenggara dan Penafsir al-Qur’an, 1990
Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta: Wijaya, 1982
Luth, Thahir, Muhammad Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Mahfudz, Syeck Ali, Hidayah al-Mursyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Shaleh, Abd. Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Cet. III; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993
Umar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, Jakarta, t. th
Wildan, Dadan, Yang Da’i yang politikus Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis, Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999

Dakwah Rasulullah SAW

Dakwah Rasulullah SAW ketika Beliau dalam Perjalanan
Imam Ahmad telah memberitakan dari putera Sa'ad, sedang ayah Sa'ad sendiri yang menunjukkan jalan ke Rakubah (perjalanan di antara Makkah dengan Madinah). Berkata putera Sa'ad, bahwa ayahku telah menceritakan kepadaku, bahwa Rasulullah SAW bersama-sama dengan Abu Bakar ra. telah singgah di kampungku. Sebenarnya Abu Bakar ra. ingin melihat puterinya yang kecil sedang disusukan di kampung kami dan Rasulullah SAW pula inginkan jalan pendek ke Madinah. Berkata Sa'ad kepada Rasulullah SAW: "jalan melalui Rakubah ini ada dua orang perompak dari suku Aslam, dikenal orang dengan panggilan Dua yang terhina!, jika engkau ingin melalui jalan ini, kami akan menunjukkannya". Rasulullah SAW menjawab: "Tidak mengapa, tunjukkanlah jalannya kepada kami!". Berkata Sa'ad seterusnya: "Kami pun berjalan melalui Rakubah itu, dan apabila kami dilihat oleh dua orang perompak itu, salah seorang mereka berkata kepada temannya: "Ini orang dari Yaman, barangkali!". Apabila kita bertemu dua orang perompak itu, Rasulullah SAW pun menyeru mereka supaya masuk Islam, dijelaskannyalah kepada keduanya tentang agama yang diajarkannya. Akhirnya mereka berdua setuju dan memeluk Islam. "Siapa nama kamu berdua?" tanya Rasuluilah SAW "Nama kami?". Mereka tersenyum."orang panggil kami dua orang yang terhina! Barangkali kerana perbuatan kami yang jahat". "Tidak", jawab Rasuluilah SAW. "Tapi sekarang kamu berdua dipanggil sebagai dua orang yang dimuliakan, kerana telah dimuliakan oleh Islam. Kami sekarang hendak menuju Madinah. Nanti temui kami di Madinah!" Rasulullah SAW berpesan kepada mereka berdua.
(Musnad Ahmad 4:74; Majma'uz-Zawa'id 6:58)
Pohon Menjadi Saksi Pengislaman seorang Badui
Abu Abdullah An-Naisaburi (Hakim) telah memberitakan pula dari Ibnu Umar ra. katanya: Semasa kami bersama dengan Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, tiba-tiba kami ditemui oleh seorang Arab badui. Apabila kami berhampiran dengan badui itu, berkata Rasulullah SAW kepadanya: "Hendak ke mana, wahai teman?!". "Hendak kembali ke kampungku",jawab badui itu. "Mahukah engkau jika aku tunjukkanmu kepada yang baik?". "Apa itu?", tanya si badui. "Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah saja, yang Esa, tiada sekutu baginya, dan bahwa Muhammad itu adalah hambanya dan UtusanNya",jawab Rasulullah SAW. "Siapa yang menjadi saksi atas apa yang engkau katakan itu?", tanya badui itu. "Engkau mahukan saksi? Engkau tak percaya kepadaku?!". "Ya, kerana aku tak kenal padamu!", jawab badui itu. "Baiklah", jawab Rasulullah SAW lagi. "Cukupkah jika pohon itu menjadi saksi?!", sambil beliau menunjuk kepada sebatang pohon yang berdekatan dengan karni. "Pohon menjadi saksi?", mata badui itu terbelalak, dia tertawa. Maka Rasulullah SAW pun memanggil pohon yang tumbuh di lereng lembah bukit itu supaya datang. Lalu pohon itu pun datang menyeret dirinya satu-satu hingga berdiri di hadapan badui itu. Dan beliau meminta kepadanya supaya menyaksikan bahwa apa yang dikatakan beliau itu adalah benar dan betul. Pohon itu lalu bersaksi dengan jelas, kemudian dia kembali semula ke tempatnya di lereng bukit itu. Orang badui itu terperanjat, dan tidak terkata-kata lagi. Kami juga merasa heran, namun begitu kami tahu yang berlaku itu adalah tanda mukjizat Rasulullah SAW. "Kalau begitu, aku percaya kepadamu!", jawab badui itu. Dia pun kembali ke kampungnya, sambil berkata, "Nanti, jika kaumku mengikutku, akan aku bawa mereka semua kepadamu". "Kalau tidak?". "Kalau tidak, aku sajalah yang akan datang kepadamu, dan duduk denganmu!"
(Al-Bidayah Wan-Nihayah 6:125; Majma'uz-Zawa'id 8:292)
Islamnya Buraidah bin Hasib ra.
Dan dari riwayat Ashim Al-Aslami yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa'ad katanya: Apabila Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, beliau singgah di sebuah kampung bernama Chamim. Beliau bertemu dengan Buraidah bin Hashib lalu ia diajak Rasulullah SAW untuk memeluk Islam. Buraidah memeluk Islam bersama-sama dengan penduduk kampungnya, dan jumlah mereka sangat ramai, semuanya datang dari kurang lebih 80 rumah. Beliau bermalam di kampung itu, dan bersembahyang Isya' sedang penghuni kampung itu mengikutnya di belakang.
(Tabaqat Ibnu Sa'ad 4:242)


POLITIK DALAM ISLAM, SUATU KEHARUSAN
oleh : Shofia M. Abdullah
" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah "(Ali Imran : 110).
Allah SWT telah menetapkan bahwa kaum muslimin adalah umat yang terbaik diantara manusia. Status ini diberikan kepada kaum mulimin agar mereka menjadi pemimpin dan penuntun bagi umat-umat lain. Sayyid Qutb dalam Fii Zhilalil Qur’an menafsirkan bahwa yang layak menjadi pemimpin umat manusia hanyalah "orang-orang yang berpredikat terbaik". Karena ingin meraih predikat umat terbaik itulah, umat Islam terdahulu tidak pernah berhenti ataupun lemah semangatnya dalam perjuangan menyebarkan risalah Islam ke seluruh permukaan bumi. Mereka yakin bahwa metode untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanyalah dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Islam dijadikan sebagai pola kehidupan yang menyeluruh. Umat Islam percaya dan yakin bahwa hanya Islam yang mampu memecahkan seluruh urusan manusia secara sempurna, menyeluruh, praktis dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Namun saat ini umat Islam berada dalam kondisi dan situasi yang lemah serta paling rendah dalam memahami Islam. Kondisi ini telah terbukti menyebabkan segala bentuk pemikiran-pemikiran yang merusak menyusup kedalam tubuh umat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gangguan dan keresahan. Umat Islam cenderung mudah mengabaikan hukum-hukum Islam. Akhirnya kehidupan mereka merosot sampai ke taraf rendah. Dalam kondisi ini, umat Islam tidak memiliki peranan lagi dalam percaturan politik internasional.
Sebenarnya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat dan membangkitkannya kembali menempati kedudukan mulia, selain dari mengembalikan umat pada sifat yang menjadikannya umat terbaik, yakni beriman kepada Allah SWT, melaksanakan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran (nahi mungkar), sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat diatas.
Umat yang beriman kepada Allah SWT, konsekuensinya adalah menjadi umat yang tunduk hanya kepada Allah SWT. Yakni tunduk kepada ketentuan-Nya. Demikian pula umat yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar berarti umat yang menegakkan tolok ukur segala sesuatu berdasarkan ridlo dan murka Allah atau baik dan buruk menurut Allah. Hal ini berarti kedudukan mulia sebagai umat terbaik akan bisa diraih kembali oleh umat Islam, bila mereka mendasarkan pengaturan segala urusannya, bahkan urusan umat manusia (lainnya) diatas perintah dan larangan Allah SWT, yang termaktub di dalam kitabbullah dan sunah Rasul-Nya.
Berpolitik Hukumnya Fardlu
Politik senantiasa diperlukan oleh masyarakat manapun. Ia merupakan upaya untuk memelihara urusan umat di dalam dan di luar negeri. Kalau kita memandang seseorang dalam sosoknya sebagai manusia (sifat manusiawinya), ataupun sebagai individu yang hidup dalam komunitas tertentu, maka sebenarnya ia bisa disebut sebagai seorang politikus. Di dalam hidupnya manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya sendiri, urusan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun negara yang memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah mereka) bisa disebut sebagai politikus. Kita bisa mengenali hal ini dari tabiat aktivitasnya, kehidupan yang mereka hadapi serta tanggung jawabnya.
Islam sebagai agama yang juga dianut oleh mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya), juga merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi ibadah mahdloh individu saja.
Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Ini kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam’ hukumnya fardlu (wajib)sebagaimana Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".
Oleh karena itu setiap saat kaum muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT:
"….maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (Al-Maidah : 48)
"…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". (Al-Maidah :44)
Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44,45, 47 dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah, yakni hukum syari’at Islam.
Terlaksananya urusan umat sesuai dengan hukum syari’at Islam tidak hanya meliputi urusan dalam negerinya saja, melainkan juga urusan luar negeri. Hal ini karena kaum muslimin juga melakukan interaksi dengan negara-negara lain, yang dalam setiap pelaksanaannya harus selalu terikat dengan syari’at Islam.
Bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat ini bisa berarti mengurusi kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, mengingkari kejahatan dan kezholiman penguasa, peduli terhadap kepentingan dan persoalan umat, menasehati pemimpin yang lalim, mendongkrak otoritas penguasa yang melanggar syari’at Islam, serta membeberkan makar-makar jahat negara-negara musuh serta hal-hal lain yang berkenaan dengan urusan umat.
Berpolitik Untuk Urusan Dalam dan Luar Negeri
Banyak urusan rakyat yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Baik urusan pelaksanaan syariat Islam di dalam negeri ataupun yang menyangkut urusan luar negeri.
Di dalam negeri, kaum muslimin harus memperhatikan, apakah urusan umat dapat terpelihara dengan baik oleh negara. Mulai dari penerapan hukum pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, aturan interaksi antar individu pria dan wanita serta seluruh kepentingan umat lainnya. Dengan demikian memperhatikan politik dalam negeri ini berarti menyibukkan diri dengan urusan-urusan kaum muslimin secara umum. Yaitu memperhatikan kondisi kaum muslimin dari segi peranan pemerintah dan penguasa terhadap mereka. Sudahkah pemimpin kaum muslimin (penguasa) melaksanakan langsung tanggung jawab terhadap rakyatnya, yang telah dibebankan Allah? Apakah seluruh urusan rakyat telah terpenuhi sesuai dengan hukum syara?
Aktivitas-aktivitas ini merupakan persoalan yang penting dan telah diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam. Dengan demikian haram hukumnya bila kaum muslimun meninggalkannya.
Selain dari aktivitas politik dalam negeri, umat Islam juga harus menyibukkan diri dalam politik luar negeri. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui strategi makar (tipu daya) negara-negara kafir terhadap kaum muslimin. Tindakan selanjutnya adalah membeberkan makar tersebut agar kaum muslimin waspada dan mampu menolak ancamannya. Di samping itu politik luar negeri ditegakkan dalam rangka menyebarkan da’wah Islam kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Ini sudah menjadi kewajiban kaum muslimin. Sebab Islam diturunkan untuk seluruh manusia.
Oleh karena itu kewajiban berpolitik bersifat mutlak, baik berupa politik dalam negeri ataupun luar negeri. Pentingnya politik luar negeri ini karena aktivitas penguasa bersama negar-negara lain adalah bagian dari politik. Maka salah satu aktivitas politik luar negeri adalah mengoreksi aktivitas penguasa yang berkaitan dengan negara-negara lain.
Bila kita telaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan, maka pemeliharaan kepentingan umat yang dilakukan oleh negara (pemerintahan serta hubungan luar negeri) hukumnya wajib. Namun di sisi lain kaum muslimin harus pula mengetahui kebijakan-kebijakan negara ini. Karena bagaimana mungkin kaum muslimin bisa menyibukkan diri dalam berpolitik di dalam negeri yaitu mengoreksi tindakan-tindakan yang dilakukan penguasa, tanpa mengetahui berbagai kebijakan yang mereka lakukan. Bila kaum muslimin tidak mengetahui esensi tindakan penguasa ini, mereka akan menemui kesulitan dalam mengoreksi tindakan-tindakannya, dengan demikian menelaah secara mendalam aktivitas-aktivitas kenegaraan termasuk suatu hal yang wajib, sebagaimana wajibnya berpolitik itu sendiri.
Aktivitas menasehati dan mengoreksi tindakan penguasa (bila penguasa lalai dari penerapan hukum Islam) merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan umat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
"Aku mendatangi Nabi SAW, lalu aku berkata : "Aku membai’atmu berdasarkan Islam Maka beliau mensyaratkan agar aku memberi nasehat kepada semua muslim"
lafazh (nasehat), berbentuk umum, termasuk di dalamnya adalah menolak tindakan lalim penguasa dan kelaliman musuh Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini diartikan dengan menyibukkan diri dengan berpolitik di dalam negeri, dalam rangka mengetahui kebijakan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dan juga dalam rangka mengoreksi tindakan-tindakan mereka.
Sebagai contoh, ketika kaum pemimpin muslimin (penguasa Daulah Islamiyah) lalai dalam menerapkan hukum Islam atau mengeluarkan kebijakan negara yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka rakyat berkewajiban untuk menasehatinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda :
" Penghulu syuhada’ adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim lalu menasehatinya, kemudian Ia di bunuh".
Dari Abi Umamah, ia berkata :
" Ada seseorang yang datang menghadap kepada Rasulullah, jihad apakah yang paling baik? Beliau mendiamkannya. Ketika beliau melempar jumrah kedua, dia bertanya kembali kepada beliau, namun beliau pun tetap tidak menjawabnya. Maka pada saat melempar jumrah aqabah, dimana beliau (ketika itu) sudah memasukan kaki beliau keatas pelana (kuda) untuk menaikinya, beliau saw bertanya :’Mana orang yang bertanya tadi ?’ Dia menjawab : ‘Saya, Ya Rasulullah.’ Beliau kemudian bersabda : ‘ Adalah kata-kata yang hak (kalimatu haqqin), yang diucapkan dihadapkan seorang penguasa yang zalim." (Ibnu Majah)
Menasehati penguasa yang lalim memang membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang tinggi. Namun imbalan yang dijanjikan Allah SWT sangatlah besar. Bagi seorang muslim yang meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allahlah satu-satunya tempat kembali, maka ia pun akan senantiasa berusaha dan berjuang untuk meraih kemuliaan ini.

Da’wah dan Politik
Bila kemudian kita kembalikan kepada tanggung jawab umat yang harus mengemban da’wah Islam keseluruh dunia, maka aktivitas da’wah ini tidak akan bisa dilakukan dengan mudah kecuali bila umat memahami politik pemerintahan negeri-negeri tersebut, yaitu politik pemerintahan negara yang berkuasa (yang rakyatnya mereka da’wahi). Mengemban da’wah adalah fardlu. Dalam hal ini seseorang tidak akan berhasil kecuali dengan memahami masalah politik secara keseluruhan (dalam dan luar negeri), maka memahami masalah politik adalah fardlu pula bagi kaum muslimin. Sebagaimana kaidah sya’ra menyebutkan :
"apabila suatu kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib"
Dengan demikian ketika kaum muslimin mendapat tanggung jawab mengemban da’wah Islam kepada seluruh manusia, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk selalu mengikuti perkembangan dunia dengan kesadaran penuh, memahami masalah-masalah dan berbagai kondisinya, mengenali kecenderungan negara dan rakyatnya, mengikuti aktivitas perpolitikan yang terjadi di dunia (internasional), memperhatikan rencana politik negara-negara mengenai strategi penerapan politik dan tata car hubungan antara sebagian negara dengan negara lainnya, termasuk manuver-manuver politik yang akan dilakukan suatu negara. Mereka (kaum muslimin) harus memahami percaturan politik dunia Islam dalam konstalasi percaturan politik internasional. Semua ini dilakukan agar kaum muslimin mudah untuk menetapkan cara-cara menegakkan, memapankan dan mempertahankan eksistensi negara mereka di tengah-tengah posisi internasional di dunia ini. Dengan demikian kaum muslimin akan dapat mengemban da’wah keseluruh penjuru bumi.
Bagaimana Dengan Kaum Muslimin Saat Ini ?
Pada kondisi seperti sekarang ini, kaum muslimin masih belum menyandarkan seluruh pengaturan kehidupannya dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada mereka. Secara umum umat Islam (termasuk di Indonesia) belum menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya. Yaitu menjadikan aqidah Islam sebagai landasan seluruh pengaturan urusan kehidupannya. Pandangan hidup yang diajarkan aqidah Islam adalah halal dan haram. Sedangkan metode operasional (untuk merealisasikan pandangan halal-haram tersebut) adalah dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara’. Maka pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang yang halal, baik persoalan tersebut wajib, mandub (sunah), maupun mubah, akan diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh, akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.
Bila kita perhatikan saat ini aqidah Islam belum diambil dan dimiliki oleh kaum muslimin sebagai aqidah siyasiyah meskipun tetap dimiliki sebagai aqidah ruhuyah. Sehingga pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah tersebut tidak pernah diwujudkan dalam realitas kehidupan, sekalipun masih ada pada individu-individu muslim.
Upaya untuk membangkitkan umat dan mengembalikan kaum muslimin sehingga mampu meraih kemuliaannya kembali sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah SWT., tidak lain hanyalah dengan menyadarkan kaum muslimin bahwa Islam adalah aqidah ruhiyah dan siyasiyah. Kesadaran ini harus ditanamkan sampai benar-benar membekas dalam arti berpengaruh langsung terhadap kehidupannya. Mereka harus senantiasa mengkaitkan aqidah tersebut dengan pemikiran-pemikiran tentang keduniaan, termasuk pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan dunia. Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada Al Qur’an dan segala isinya. Mereka pun harus memperdalam makna keimanan kepada Al-qur’an yang diturunkan Allah SWT bagi seluruh umat manusia diakhir zaman ini.
Mereka harus mengkaitkan keimanan kepada Al-Qur’an dengan keimanan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa Al-Qur’an. Demikian pula keimanan kepada sunnahnya. Kemudian setelah itu, beralih kepada upaya untuk merubah pandangan hidup mereka dengan suatu pandangan hidup yang dibangun di atas aqidah tersebut. Hal ini berarti beralihnya standar kehidupan kepada halal dan haram, bukan azas manfaat ataupun yang lainnya. Selanjutnya berupaya untuk mengatur seluruh aspek kehidupannya di dunia ini sesuai dengan standar halal haram tersebut.
Demikian kerangka pandang politik didalam Islam. Standar ini bersifat tetap dan pasti yang berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kiamat nanti. Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi suatu kaum muslimin untuk menjadikan aqidah Islam sebagi cara pandang untuk memelihara dan mengurusi segala urusan hidupnya. Kesadaran inilah yang harus ditumbuhkan pada kaum muslimin saat ini. Bahkan menjadi suatu hal yang ‘amat penting’, mengingat bila kaum muslimin meninggalkan persoalan ini, maka mereka akan berdosa. Sebagaimana dosa-dosa mereka karena meninggalkan kewajiban yang lain.
Selain kewajiban bagi setiap individu muslim untuk memiliki kesadaran politik yang berlandaskan Islam, secara syar’I kaum mulimin juga diperintahkan untuk mewujudkan kelompok (dalam hal ini adalah Kutlah Siyasi) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.
Allah SWT berfirman :
"Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada kema’rufan serta mencegah dari kemungkaran,. Dan merekalah orang-orang yang beruntung". (QS : Ali Iran :104)
Dengan dalil ini berarti Allah SWT telah memfardlukan kaum muslimin agar bergabung dalam Kutlah siyasi yang mengemban dakwah Islam, dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam (isti’nafil hayah al Islamiyah). Di dalam ayat tersebut,Allah SWT telah menjelaskan metode yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin dalam mengemban dakwah Islam, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar.
Mengambil pengaturan urusan kaum muslimin dengan selain aturan yang diturunkan Allah merupakan kemungkaran yang telah jelas. Sedangkan mewujudkan pengaturan urusan kaum muslimin dengan aturan yang diturunkan Allah SWT merupakan amar ma’ruf yang lebih agung. Oleh karena itu menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslimin agar mereka melaksanakan kaum muslimin.
Apa lagi, yang bisa dilakukan kaum muslimin kini selain dari kembali kepada kesadaran politik dengan perspektif (kerangka pandang) yang sesungguhnya kemudian berupaya mewujudkan kelompok-kelompok (ahjab siyasiyah) yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam ? Demikian bila kaum muslimin mau kembali pada makna politik yang sesungguhnnya.
Wallahu a’lam bisshowab


POLITIK DALAM ISLAM

Politik dan Islam tidak dapat dipisahkan, justeru ia adalah sebahagian daripada cara hidup manusia. Namun politik yang bagaimana? Ini yang menjadi persoalan. Sebahagian daripada pejuang Islam sendiri kabur dengan makna dan kehendak politik sebenarnya. Mereka terikut-ikut dengan aliran politik barat dan mengharapkan Islam dapat ditegakkan dengan cara itu. Malah mereka marah jika ada pejuang Islam lain yang tidak mahu terjebak dengan perangkap musuh-musuh Islam melalui bidang politik tajaan orang-orang kafir.
Mengapa ini terjadi? Ini disebabkan umat Islam tidak pernah didedahkan kepada satu bentuk politik yang bersih, kuat dan stratejik. Kini sudah tiba masanya kita mendedahkan apa itu politik Rasulullah dan bagaimana matlamat serta perlaksanaannya. Jarang benar ketokohan Rasulullah SAW ditonjolkan dalam bentuk bagaimana baginda berpolitik untuk menaikkan Islam di tengah jahiliah. Bagaimana ia memproses peribadi-peribadi yang dulunya menentang Islam? Ke arah cinta dan sanggup mati kerana Islam. Jika rahsia ini terserlah, ertinya semakin cerahlah jalan ke arah mencontohi Rasulullah sebagai ahli politik.
Politik ialah bagaimana hendak mentadbir manusia mengikut jalan dan matlamat yang telah ditentukan. Politik Islam bercita-cita untuk mendidik dan membawa manusia supaya mempunyai kesedaran, kefahaman, penghayatan dan seterusnya dapat menegakkan kalimatullah di seluruh bidang kehidupan. Ini dibuat melalui saranan, contoh tauladan, memberi pimpinan dan lain-lain cara yang dibolehkan oleh syariat. Tujuannya agar semua manusia terhindar daripada Neraka dan dapat masuk ke dalam Syurga.
Jadi, inilah garis politik Rasulullah. Dan di bidang ini tiada siapa yang dapat menandingi baginda. Rasulullah SAW tidak memimpin secara politik demokrasi, secara diktator atau pun secara autokrasi. Dengan kefahaman yang tinggi tentang jiwa, akal, dan perasaan manusia, Rasulullah SAW telah berjaya memimpin secara fitrah. Maksudnya, Rasulullah SAW membawa manusia ke jalan yang diyakininya tanpa paksaan dan tekanan. Ia mampu memindahkan hasrat yang terpendam dilubuk hatinya menjadi hasrat orang lain. Ertinya politik Rasulullah ialah politik dari hati ke hati.
Allah berfirman:
"Tiada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah nyata kebenaran daripada kesesatan."

Atas dasar ini, Rasulullah SAW berjaya menawan jiwa manusia dan daripada situlah seluruh harta, tenaga dan nyawa pengikut-pengikutnya diserah bulat-bulat untuk Islam.
Di antara fitrah semulajadi manusia ialah mahu pandangannya dihormati dan dihargai. Rasulullah sedar hakikat ini. Oleh itu apabila Rasulullah berhadapan dengan ahli ekonomi seperti Abd Rahman bin Auf, yang minat serta kecenderungannya di bidang perniagaan, beliau memupuk bakat itu supaya terus subur dan berkembang. Akhirnya Abdul Rahman Bin Auf pun menjadi pengusaha yang berjaya.
Bila Rasulullah SAW berhadapan dengan pakar di bidang ketenteraan seperti Khalid Al Walid, maka semangat perwiranya terus disuburkan ke arah jihad fisabilillah, kebalikan daripada semangat Assobiyah (Nasionalisma). Bila baginda berhadapan dengan ahli fikir, pakar strateji dan kepala perancang seperti Umar IbnulKhattab, maka Rasulullah SAW terus mendorong ke arah bagaimana untuk menggunakan kepakaran itu buat kemenangan dan kejayaan Islam. Oleh itu setiap individu di kalangan para sahabat akan rasa dihargai kerana bakat dan kelebihan semulajadinya berperanan dalam perjuangan Islam. Seorang buruh, petani, peniaga, pentadbir dan semua lapisan masyarakat telah disusun oleh Rasulullah SAW dalam satu barisan yang mempunyai kegunaan dan peranan masing-masing. Atas dasar ini, jika ada gerakan Islam yang menumpukan perhatian mereka kepada golongan 'elit' dan 'intelek' sahaja, perjuangan mereka sebenarnya telah menyimpang daripada sirah Rasulullah SAW.!
Mari kita lihat secara dekat bagaimana individu-individu (yang mempunyai berbagai-bagai kepakaran) itu dapat diubah daripada membina jahiliyah (dengan kelebihan-kelebihan itu) kepada membina Islam. Sebelum para sahabat diajak menegakkan Islam melalui bidang masing-masing, Rasulullah terlebih dahulu menanam iman di dalam jiwa mereka. Agar dengan itu mereka akan menjadi orang yang cintakan hidup akherat, rindu dengan syurga, gerun dengan neraka dan kasih sayang sesama Islam. Keadaan daripada penanaman iman dan tauhid di dalam hati individu-individu itu, maka lahirlah peribadi-peribadi yang telah berubah wataknya. Dari watak yang bengis dan kejam kepada kasih sayang dan pemaaf. Daripada seorang yang pembohong, jahil dan mengutamakan hawa nafsu kepada seorang yang jujur, berilmu dan menegakkan hukum Allah.
Tegasnya, Rasulullah SAW telah berjaya menukar mereka yang dulunya menyembah berhala kepada menyembah Allah. Mereka yang dulunya terbiar, hidup dalam perhambaan dan terasuh dengan jalan yang salah oleh para pemimpin jahiliyyah kepada satu cara hidup dan perjuangan di mana bakat semulajadi terus dipupuk dan dibajai.
Daripada penanaman iman ini lahirlah ahli fikir yang agung sedangkan dahulu ia adalah peminum arak. Lahirlah pentadbir-pentadbir yang cekap sedangkan dahulunya mereka adalah golongan bawahan yang tertindas. Individu-individu yang dulunya diperhambakan oleh hawa nafsu kini menjadi panglima perang yang gigih berperang menentang orang kafir dan menjadi abid yang sentiasa berzikir. Inilah hasil siasah Rasulullah SAW.
Soalnya sekarang, bagaimana Rasulullah SAW menanam Iman ke dalam jiwa para sahabat? Bagaimana Rasulullah berjaya menukar watak-watak jahiliyyah kepada peribadi mukmin sekaligus dapat menggunakan bakat-bakat mereka untuk Islam? Jawabnya, melalui dakwah dan tarbiah. Untuk itu Rasulullah SAW datang ke tengah masyarakat dengan menyebarkan ilmu pengetahuan, memberi tunjukajar yang baik, lunak dan menarik, bijaksana, berakhlak serta membina model masyarakat yang disarankan melalui amal makrufat yang memberi menafaat kepada masyarakat.
Dengan ini secara otomatik Islam akan diyakini sebagai cara hidup yang terbaik untuk mengatur kehidupan manusia. Islam nescaya diterima sepenuhnya untuk mengatur dan menguruskan harta, perniagaan sawah ladang, keluarga, kampung halaman, negeri, negara dan dunia seluruhnya.
Apabila Islam diterima untuk mengatur kehidupan maka terbuktilah keindahan dan kegagahannya. Bidang ekonomi ditadbir penuh jujur, cermat, cekap dan mendapat keuntungan yang lumayan . Begitu juga di bidang pertanian, tanaman dan penternakan mendapat hasil yang berkat oleh tangan petani yang beriman. Kampung ditadbir oleh ketua-ketua yang bijaksana sehingga terbinalah kampung seperti mana yang disifatkan oleh Allah Taala di dalam Al Quran:
"Jikalau penduduk-penduduk satu kampung beriman kepada Allah dan bertakwa nescaya sesungguhnya Kami (Allah)akan bukakan ke atas mereka itu keberkatan daripada langit dan bumi."
Begitu juga , Rasulullah SAW berjaya menghasilkan pentadbir-pentadbir peringkat negara sehingga tertegaklah apa yang difirmankan Allah:
"Negara makmur yang mendapat keampunan Tuhan."
Ini lah rahsia politik Rasulullah. Bermula dengan tapak dakwah dan tarbiah yang menanamkan iman didalam hati sanubari setiap individu, sehinggalah keyakinan kepada ALlah, rasul dan hari akherat tergambar dalam sikap dan tindakan. Tahap kedua ialah memupuk bakat dan kelebihan semulajadi yang ada pada individu-individu yang beriman itu dan mula mengatur bidang-bidang yang sesuai supaya bakat mereka terus berperanan. Akhirnya mulalah satu bentuk kehidupan Islam yang menyeluruh dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Kemudian dengan sendirinya Islam akan diakui sebagai satu-satunya agama yang mampu mengatur hidup manusia. Ertinya politik Islam bermula daripada mentadbir diri, keluarga kemudian membina cara hidup Islam di seluruh aspek kehidupan samada di bidang pertanian, perniagaan, perubatan, pendidikan dan akhirnya sampailah ke peringkat mengatur negara dan dunia!
Bentuk politik yang beginilah yang wajib ada dalam gerakan Islam. Dan siapa yang menolaknya, ertinya ia telah memisahkan agama daripada politik. Politik tidak boleh difahami secara dangkal mengikut kefahaman setengah-setengah pihak. Politik bukanlah sekadar mengundi dalam pilihanraya "ala-demokrasi" Barat, bukan sekadar mendaftar sebagai anggota mana-mana pertubuhan politik atau sekadar mahu dan bercita-cita untuk menjadi anggota parlimen dan lain-lain lagi. Jika fahaman-fahaman ini masih berakar umbi dalam kepala kita...ini bererti kefahaman politik kita masih sekular, masih politik yang terpisah dari agama yang pada hakikatnya masih jauh daripada politik Rasulullah SAW.

Secara terus terang kita ingin bertanya, adakah ahli-ahli politik beragama Islam sekarang mengikut jejak politik Rasulullah? Tidak ! Tidak ! Kebanyakan ahli politik pada hari ini mencedok bulat-bulat politik demokrasi Barat yang penuh dengan rebutan kuasa, guling mengguling dan tidak pernah sunyi dengan pertarungan sesama sendiri. Mengapa ini terjadi? Ini disebabkan politik Barat mempunyai satu matlamat iaitu kuasa. Dengan kuasa mereka yakin dapat mengatur hidup manusia mengikut lunas-lunas ideologi yang mereka yakini. Kapitalis dahagakan kuasa untuk melagang cara hidup kapitalis, pemuja faham sosialis inginkan kuasa untuk menyusun masyarakat berdasarkan cara hidup sosialis... tetapi Islam tidak menganggap kuasa sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan cara hidup Islam. Ertinya pejuang Islam tidak perlu mencontohi pejuang Nasionalis, kapitalis, sosialis, kominis yang menganggap kuasa adalah penentu segala-galanya.
Atas dasar ini, politik Rasulullah SAW bukan politik yang bertujuan untuk mendapat kuasa. Rasulullah berjuang terhadap orang kafir bukan hendak meruntuhkan kuasanya, tetapi hendak meruntuhkan akidah dan keyakinan yang karut marut dalam jiwa mereka. Mereka boleh duduk pada tempat masing-masing . Bila akidah dan keyakinan berubah, berubahlah akhlak, sikap dan pentadbiran. Sejarah telah membuktikan kejayaan politik Rasulullah ini, Khalid Al Walid pada masa jahiliyyah adalah panglima tentera yang menggugat tentera Islam, manakala beliau memeluk Islam, beliau tetap dikekalkan sebagai panglima tentera. Saidina Umar, pada masa sebelum Islam adalah seorang pembesar Quraisy, manakala memeluk Islam, beliau tetap dianggap Rasulullah SAW sebagai pembesar juga. Begitulah juga yang berlaku kepada saudagar besar dan ketua-ketua suku Arab seperti Abdul Rahman bin Auf, Abu Sufian, Amru Al As dan lain-lain lagi. Mereka tetap duduk dan terus berperanan dengan bakat masing-masing...cuma hati dan jiwa sahaja yang telah diubah!
Alangkah baiknya jika siasah Rasulullah SAW ini dicontohi oleh para pejuang Islam sepanjang zaman, iaitu dengan menawan hati bukan menawan kerusi,
mengubah jiwa bukan merampas kuasa.
Malangnya ini tidak berlaku. Bahkan ada pihak yang bertanya, adakah akan berjaya jika kita mengikut siasah Rasulullah? Sampai bila kita harus menunggu untuk menawan hati dan mengubah jiwa manusia? Soalan-soalan ini jelas menunjukkan
sikap gopoh, tidak faham dan lemah jiwa.
Jika orang bertanya, akan berjayakah kalau kita ikut cara Rasulullah berpolitik?
Soalan ini samalah seperti kita bertanya adakah kita akan berjaya jika kita mengikut Rasulullah di bidang perniagaan? Jawabnya, Rasulullah memang berjaya. Tidak ada catitan sejarah yang menunjukkan Rasulullah "bangkrup" dalam perniagaannya, sedangkan selama kita mengikut sistem perniagaan dan ekonomi Barat berapa ramai yang jatuh muflis? Berapa banyak hutang negara kita? Berapa ramai taukeh-taukeh besar bertukar menjadi banduan sekelip mata? Berapa banyak tanah yang dicagar di bank tergadai? Inilah jawapan kepada orang yang mahu mempertahankan sistem ekonomi Barat.
Dan inilah juga yang akan menimpa jika kita terus menafikan sistem politik Rasulullah. Kejayaan Rasulullah di bidang siasah telah jelas dan siapa yang menurut jejak langkahnya, InsyaAllah akan turut berjaya. Tanpa bersusah-susah memerah otak untuk mencari punca krisis politik yang menimpa dunia hari ini, akui sahajalah kerana kita menolak sistem politik Rasulullah.
Sukarno terperangkap dengan permainan politiknya sendiri dan akhirnya mati sebagai tahanan di dalam rumahnya sendiri. Benn Bella digulingkan dan disumbatkan di dalam penjara. Sadat ditembak dan mati terhina di muncung senjata perajuritnya sendiri. Dan ramai lagi pemimpin-pemimpin Islam yang telah, sedang dan akan jatuh terhina akibat berpolitik cara Barat iaitu cara politik yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW.
Malah pejuang-pejuang Islam yang benar-benar ingin menegakkan Islam tetapi masih menerima jalan politik Baratpun, turut terhina dengan kekalahan memanjang.....
Politik berpilihanraya ala-barat bukanlah politik yang dicetuskan oleh sunnah. Cara ini menyeret orang yang tidak tahu menahu dalam pemerintahan seperti orang kampung, para petani, para nelayan ke kancah politik yang penuh tipu daya dan putar belit.....
Memang mereka boleh berhujah dengan kata-kata, "Politic is not dirty, but politicians make it dirty," tetapi kita tidak pernah melihat kejujuran dihargai dalam politik. Memang ada ahli politik yang jujur, tetapi politik bukanlah satu medan yang mana orang jujur boleh bertahan lama!!
Sebab itu kita ingin menyatakan bahawa," Politic is a dirty game, the politicians make it dirtier," Sudah lumrah mengikut falsafah politik barat, matlamat menghalalkan cara. Sedangkan mengikut politik Islam, matlamat yang benar mesti diperjuangkan mengikut jalan yang benar. Dan Islam menolak jalan perjuangan yang salah walaupun cita-cita dan matlamatnya baik.
Inilah politik barat. Satu bidang yang memang ada jurang yang dirancang di hujungnya. Mahu tidak mahu, kita "terpaksa" jatuh ke dalamnya. Oleh itu kita mesti menolak 100% matlamat, kaedah dan apa saja yang berkaitan dengannya. Menerimanya bererti menjemput kehinaan. Bertolak ansur dengannya bererti rela menerima kemusnahan. Sekarang timbul persoalan, siapakah ahli siasah yang sebenarnya?
Ahli siasah yang sebenarnya ialah dia yang dapat merancang, bertindak dan berjuang menegakkan Islam dalam apa keadaan sekalipun. Rasulullah adalah 'Bapa Politik Islam'. Baginda dapat mencari ruang di celah-celah asakan jahilyyah untuk menegakkan Islam. Rencananya dapat menembusi dinding Darul Nadwah, "Parlimen" orang Arab jahiliyyah dan berjaya menukar orang yang pernah duduk di kerusi Darul Nadwah menjadi "orang penting" dalam pemerintahan Islam. Sebab itu bukanlah mustahil jika ada pejuang Islam yang mampu mengubah tokoh-tokoh politik yang sedang berkuasa sekarang kepada cara pemerintahan dan pentadbiran Islam. Sekali lagi, kita katakan....Ini tidak mustahil!!!
Tetapi kenyataan ini akan menimbulkan isu kontravesial terutamanya di kalangan parti-parti politik yang bercorak Islam. Apa yang dilakukan oleh parti-parti ini bukanlah hendak menawan hati lawannya dengan menanam iman dan takutkan Allah, tetapi hendak menawan kedudukan dan kerusi-kerusi kebesaran mereka. Sebab itu tidak hairanlah jika datang tentangan yang hebat dari lawan mereka dan timbul tuduhan-tuduhan daripada masyarakat Islam yang mengatakan mereka inginkan pangkat dan kedudukan, bukan hendak meninggikan syariat Islam.
Lebih-lebih lagi , parti-parti politik ini suka mencari kesalahan parti musuhnya, kemudian ditelanjangkan di khalayak ramai. Ini bukan cara politik Rasulullah dan ini menyimpang terus dari ajaran Islam. Jika kita terus menerus mengamalkan cara ini, percayalah, perjuangan kita tidak akan sampai ke mana, orang semakin hari semakin lari dan benci kepada kita. Akibat daripada ini, kita tuduh masyarakat lari dari Islam, walaupun yang sebenarnya mereka lari daripada kita. Sebaliknya di pihak masyarakat pula , mereka menganggap Islam itu ganas, kasar dan menyusahkan sedangkan yang sebenarnya ahli politik itulah yang bersikap demikian, bukan ajaran Islam!
Pengalaman-pengalaman yang kita telah alami, terutamanya peristiwa-peristiwwa pahit yang melanda masyarakat Islam akibat perebutan kuasa sepatutnya telah lama mengajar kita bahawa inilah masa yang paling sesuai untuk kembali kepada sistem politik Rasulullah. Masyarakat sepatutnya dapat menilai politik yang mana yang dapat memberi kebahgiaan dan keamanan untuk negara. Apakah kita masih mahu mempertahankan sistem politik yang menimbulkan huru-hara? Atau mulai saat ini kita menerima politik Rasulullah yang telah terbukti berjaya? Terpulanglah kepada masyarakat menimbangkannya. (Artikel dari pembacaan)

Politik Menurut Kacamata Islam

Kamis,11:18 WIB
Assalamu'alaikum wr,wb.
Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah mengganggu aktivitas ustadz.
oiya... saya mau bertannya nih tentang politik dipandang dari agama Islam.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Pemilu sudah kita laksanakan, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Pilpres. Ketika kampanye berlangsung, banyak sekali para calon yang menguraikan janji-janjinya demi tercapainya suatu maksud tertentu. Tetapi, seperti yang sudah-sudah, banyak sekali calon yang jadi/ menduduki kursi tersebut seolah-olah ataupun dengan sengaja melupakan janji-janjinya tersebut.
Menurut ustadz, apa sih hukumnya menurut Islam jika orang-orang tersebut tidak memenuhi janjinya?. Apakah di dalam Islam juga dianjurkan kita untuk berpolitik?,kalau iya, bagaimana caranya berpolitik yang baik menurut Islam?.
Saya mohon penjelasan dari ustadz atas pertanyaan tersebut.
Terima kasih...
Wassalamu'alaikum wr,wb.
Ruri Sandi

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Janji Para Caleg
Cara klasik yang hingga saat ini masih dianggap ampuh dalam menarik dukungan rakyat baik pada pileg maupun pilpres adalah dengan mengumbar janji-janji manis yang seringkali tidak menjejak ke bumi.
Tentunya janji-janji yang sebagian besar berupa ucapan-ucapan membuai atau iming-iming yang melenakan bukanlah sebatas janji antara para kandidat itu dengan rakyat akan tetapi juga antara mereka dngan Allah swt.
Janji didalam bahasa arab bisa berarti ‘ahd atau wa’d. Diantara para ulama ada yang menyamakan antara ‘ahd dengan wa’d, ada yang mengatakan bahwa keduanya berbeda, mereka mengkhususkan ‘ahd adalah janji terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah swt sedangkan wa’d adalah selainnya.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ‘ahd adalah wa’d yang disertai dengan persyaratan, seperti : “jika kamu melakukan ini maka aku akan melakukan itu”
Islam mengharuskan seseorang yang berjanji untuk berpegang teguh dengannya dan tidak mengingkarinya baik janjinya kepada Allah swt maupun kepada manusia, sebagaimana firman-Nya :

Artinya : “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji.” (QS. An Nahl)
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

Artinya : “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al mukminun : 8)
Al Baghowi mengatakan bahwa makna dari “mereka memelihara janji-janjinya” adalah memelihara apa-apa yang diamanahkan kepada mereka serta menunaikan janji-janji yang diutarakannya kepada manusia.” (Tafsir al Baghowi juz V hal 410)
Sementara itu Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa amanah adalah apa yang diamanahkan kepada mereka sedangkan janji (‘ahd) adalah apa yang telah dijanjikan antara dririnya dengan Allah swt atau antara sesama manusia. Dan didalam ayat ini digabungkan antara janji dan amanah, keduanya adalah beban yang dipikul manusia baik urusan-urusan agama maupun dunia. Amanah lebih umum daripada janji, setiap janji adalah amanah. (Fathul Qodir juz III hal 679)
Sedangkan pelanggaran janji ini bisa disebut dengan ikhlaf (pengingkaran) atau kadzib (dusta). Ikhlaf berarti ‘admul wafaa bil ‘ahdi (tidak memenuhi janji). Sedangkan kadzib, diantara fuqaha ada yang menyamakannya dengan ikhlaf namun dari mereka ada yang memisahkan diantara keduanya, yaitu kadzib (dusta) adalah terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu dan saat ini sedangkan ikhlaful wa’d (mengingkari janji) adalah untuk sesuatu yang berkaitan dengan masa datang.
Adapun hukum dari menyalahi ‘ahd atau wa’d menurut mereka yang membedakan antara keduanya—‘ahd adalah terhadap apa yang diwajibkan atau diharamkan Allah sedangkan wa’d adalah selainnya—maka menyalahi ‘ahd adalah haram sedangkan hukum menyalahi wa’d maka Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah berspakat apabila seseorang telah berjanji (wa’d) tentang sesuatu yang tidak diharamkan maka seharusnya dia menepati janjinya itu. Namun apakah ini wajib atau sunnah ? maka terdapat perbedaan ulama :
Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah, apabila orang itu mengingkarinya maka ia telah kehilangan keutamaan dan termasuk perbuatan yang makruh sekali akan tetapi orang itu tidak berdosa.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa penunaian wa’d adalah wajib, Imam Abu Bakar bin ala Arobi al Maliki mengatakan bahwa orang yang paling terkenal berpendapat seperti ini adalah Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah, namun barangsiapa yang berjanji sementara itu dia berniat untuk mengingkarinya maka sudah dipastikan bahwa orang itu berdosa dan didalam dirinya terdapat cabang dari kemunafikan, sabda Rasulullah saw,”Tanda-tanda kemunafikan adalah tiga : jika berbicara maka dia berbohong, jika berjanji dia ingkari dan jika dia diberi amanah maka dia khianat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 715)
Politik Dalam Islam
Tentunya sebagai agama yang mencakup semua aspek kehidupan, islam tidaklah melupakan atau meninggalkan permasalahan politik, yang dikenal dengan istilah “siyasah”.
Jika dikatakan saasal waliy ar ro’iyah berarti pemimpin itu memerintahkan, melarang dan mengendalikan rakyatnya. Karena itu menurut terminologi bahasa siyasah menunjukkan arti mengatur, memperbaiki dan mendidik.
Sedangkan menurut etimologi, siyasah (politik) memiliki makna yang berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Disebutkan bahwa ia adalah upaya memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di kehidupan dunia maupun akherat serta mengatur urusan-urusan mereka. Al Bujairumiy mengatakan bahwa politik adalah memperbaiki urusan-urusan rakyat dan mengatur perkara-perkara mereka.
Politik dengan makna seperti ini merupakan dasar hukum, karena itu tindakan-tindakan para penguasa negara yang terkait dengan kekuasaan disebut dengan politik. . Ilmu politik adalah ilmu yang mengetahui tentang macam-macam kekuasaan, perpolitikan sosial dan sipil, keadaan-keadaannya : seperti keadaan para penguasa, raja-raja, pemimpin, hakim, ulama, ekonom, penanggung jawab baitul mal dan yang lainnya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 8963)
Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa islam bukanlah melulu aqidah teologis atau syiar-syiar peribadatan, ia bukan semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara.
Tidak, tidak demikian…islam adalah akidah dan ibadah, akhlak dan syariat yang lengkap. Dengan kata lain, islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.
Bahkan bagian ibadah dalam fiqih itu pun tidak lepas dari politik… Islam memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum dan pengarahan-pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani. (Fatwa-fatwa Kontemporer jlid 2 hal 897 – 898)
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Abul Wafa’ ibnu ‘Aqil al Hambali bahwa politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara’.
Ibnul Qoyyim juga mengatakan bahwa sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara’ bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya. Dalam hal ini kami menyebutnya dengan politik (siyasah) karena mengikuti istilah mereka. Padahal, sebenarnya dia adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya. (at Thuruq al Hukmiyah hal 17 – 19)
Islam adalah agama yang mengikat segala sesuatunya dengan aturan agama, begitupula didalam urusan politik ini. Islam tidak mengenal adanya penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, meskipun tujuan itu mulia. Islam tidak hanya melihat hasil tetapi juga proses untuk mendapatkan hasil.
Oleh karena itu didalam berpolitik pun seorang politisi maupun pemimpin islam diharuskan berpegang dengan rambu-rambu syariah dan akhlak mulia. Dengan kata lain bahwa segala cara berpolitik yang bertentangan dengan syariah atau melanggar norma-norma agama dan akhlak islam maka ia dilarang.
Wallahu A’lam


Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam

Pendahuluan

Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.

Era Kenabian

Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.

Islam dan Politik

Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
  1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
  2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
  3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
  4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
  5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
  6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
  7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".

Bukti Sejarah

Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.

Catatan kaki:

(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.

Definisi Politik dalam Islam.


Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.

Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

SISTEM POLITIK DALAM ISLAM




Pengertian Politik Menurut Islam

Politik adalah 'ilmu pemerintahan atau 'ilmu siyasah, iaitu 'ilmu tata negara. Pengertian dan konsep politik atau siasah dalam Islam sangat berbeza dengan pengertian dan konsep yang digunakan oleh orang-orang yang bukan Islam. Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan ummah kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. la bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menerajui dan melaksanakan undang-undang.

Pengertian ini bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya:

"Dan katakanlah: Ya Tuhan ku, masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan berikanlah kepadaku daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong." (AI Isra': 80)

Di atas landasan inilah para 'ulama' menyatakan bahawa:

"Allah menghapuskan sesuatu perkara melalui kekuasaan negara apa yang tidak dihapuskan Nya melalui al-Qur'an"

Asas Sistem Politik Islam
Asas-asas sistem politik Islam ialah:

1. Hakimiyyah Ilahiyyah

Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah. Tidak mungkin ianya menjadi milik sesiapa pun selain Allah dan tidak ada sesiapa pun yang memiliki suatu bahagian daripadanya. Fir man Allah yang mafhumnya:

"Dan tidak ada sekutu bagi Nya dalam kekuasaan Nya." (Al Furqan: 2)

"Bagi Nya segaIa puji di dunia dan di akhirat dan bagi Nya segata penentuan (hokum) dan kepada Nya kamu dikembalikan." (A1 Qasas: 70)

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (A1 An'am: 57)

Hakimiyyah Ilahiyyah membawa pengertian-pengertian yang berikut:
(i) Bahawasanya Allah adalah Pemelihara 'alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi Pemelihara manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada sifat Ilahiyyah Nya Yang Maha Esa
(ii) Bahawasanya hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh sesiapa kecuali Allah. Oleh kerana itu, manusia wajib ta'at kepada Nya dan ber'ibadat kepada Nya
(iii) Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu-satu Nya Pencipta
(iv) Bahawasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak mengeluarkan peraturan- peraturan, sebab Dialah satu-satu Nya Pemilik
(v) Bahawasanya hukum Allah adalah sesuatu yang benar sebab hanya Dia sahaja Yang Mengetahui hakikat segala sesuatu, dan di tangan Nyalah sahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan yang selamat dan lurus.
(vi) Hakimiyyah Ilahiyyah membawa erti bahawa teras utama kepada sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah di segi rububiyyah dan uluhiyyah Nya.

2. Risalah

Jalan kehidupan para rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan- jalan hidayah. Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan daripada Allah untuk diri mereka dan juga untuk umat umat mereka. Para rasul sendiri yang menyampaikan hukum hukum Allah dan syari'at syari'at Nya kepada manusia.

Risalah bererti bahawa kerasulan beberapa orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah satu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi Allah di dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul menyampaikan, mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan perbuatan mereka.

Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan Rasulullah s.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah-perintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggatkanlah." (Al Hasyr: 7)

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk dita'ati dengan seizin Allah." (An Nisa': 64)

"Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, akan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang telah mereka datangi, dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu adalah seburuk buruk tempat kembali." (An Nisa: 115)

"Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisa': 65)

3. Khalifah

Khilafah bererti perwakilan. Dengan pengertian ini, ia bermaksud bahawa kedudukan manusia di atas muka bumi ialah sebagai wakil Allah. Ini juga bermaksud bahawa di atas kekuasaan yang telah diamanahkan kepadanya oleh Allah, maka manusia dikehendaki melaksanakan undang undang Allah dalam batas batas yang ditetapkan.

Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi... " (Al Baqarah: 30)

"Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi sesudah mereka supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat." (Yunus: 14)

Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana ia benar- benar mengikuti hukum-hukum Allah. Oleh itu khilafah sebagai asas ketiga dalam sistem politik Islam menuntut agar tugas tersebut dipegang oleh orang- orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mereka mestilah terdiri daripada orang-orang yang benar-benar menerima dan mendukung prinsip-prinsip tanggungjawab yang terangkum di dalam pengertian khilafah
b. Mereka tidak terdiri daripada orang-orang zalim, fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah serta bertindak melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh Nya
c. Mereka mestilah terdiri daripada orang-orang yang ber'ilmu, berakal sihat, memiliki kecerdasan, kea'rifan serta kemampuan intelek dan fizikal
d. Mereka mestilah terdiri daripada orang-orang yang amanah sehingga dapat dipikulkan tanggungjawab kepada mereka dengan aman dan tanpa keraguan

Tiada ulasan: